Dunia saat ini sedang kebakaran jenggot. Momok ’Krisis Global’ telah menghantui segala pihak. Krisis finansial yang berujung pada krisis ekonomi global telah menjadi wacana dan perhatian khusus dari hampir seluruh elemen masyarakat, baik di tingkat global, nasi-onal, maupun lokal. Banyak pihak menyadari bahwa krisis ini merupakan sebuah konse-kuensi atas pilihan-pilihan sistem ekonomi yang didasarkan pada fundamen utama di sektor finansial. Krisis ekonomi global semakin menunjukkan kegagalan sebuah ideologi dunia, yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dengan sistem kapitalisme sebagai agamanya. Yang tidak terelakan lagi adalah kapitalisme internasional saat ini telah mencengkram kuat, mendominasi dan mengendalikan negara-negara di dunia.
Krisis yang terjadi saat ini sebenarnya bukanlah krisis yang baru di dunia. Peristiwa krisis ekonomi selalu berulang dengan pelaku yang bisa berbeda dengan watak yang sama, dan selalu ditangani dengan resep yang sama, serta hanya berpihak pada kelompok yang memiliki kekuasaan, baik secara ekonomi maupun secara politik, sehingga selalu mengor-bankan kelas yang paling rendah. Siklus krisis ekonomi global ini pada akhirnya tidak pernah menemukan jalan keluar yang terbaik bagi kebanyakan penduduk dunia.
Dalam konteks Indonesia, krisis global yang terjadi semakin mengancam negeri ini, karena pilihan ekonomi bangsa ini juga mengikuti ideologi ekonomi dunia yang rentan terha-dap krisis. Demikian pula dengan pilihan-pilihan solusi yang dipilih oleh Indonesia untuk merespon krisis ini, tidak lebih mengikuti aliran kapital yang sama. Dana talangan yang dianggarkan oleh pemerintah, hanya sepuluh persen yang ditujukan bagi sektor riil, selebih-nya diperuntukkan bagi penyelamatan di sektor finansial yang justru menjadi sumber krisis ekonomi dunia yang bersandar pada ketamakan sebagai logika dasar dari sistem ekonomi ini yang didorong akumulasi keuntungan sebesar mungkin dengan biaya semurah mungkin, dan bertumpu pada produksi kotor antara lain industri ekstraktif dengan mengabaikan keberlanjutan sumber-sumber kehidupan rakyat.
Indonesia yang selalu mengejar kenaikan angka pertumbuhan, mendorong menguat-nya kerapuhan ekonomi dan sistem pertahanan kehidupan di tingkat komunitas. Kita lihat kekayaan alam Indonesia telah dikuasai oleh sekelompok kecil korporasi dengan berhasilnya kelompok pemodal yang bergumul dengan penguasa dalam melahirkan kebijakan-kebijakan negara yang mengarah pada sebuah penguasaan skala luas untuk kepentingan kelompoknya dan meminggirkan hak-hak komunal rakyat Indonesia. Bahkan 85 persen sumber minyak bumi dan gas alam Indonesia telah dikuasai oleh korporasi asing, lahan-lahan produktif rakyat telah berganti dengan hamparan perkebunan besar dan lubang-lubang tambang, pesisir dan laut Indonesia telah pula dikapling-kapling, hingga semakin menyempitnya ruang hidup bagi rakyat di tanah tumpah airnya. Hal ini jelas memperparah keadaan yang sudah gawat.
Penguasaan kekayaan alam Indonesia melalui pemberian perizinan pemerintah dan permufakatan tanpa melibatkan rakyat, juga telah memperbanyak pengungsi pembangunan. Hal ini juga diikuti oleh berkurangnya kemampuan bertahan hidup, berkurangnya alternatif sumber-sumber kehidupan, serta melemahnya daya bangkit rakyat di tengah pertarungan global dan meningkatnya krisis.
Krisis ekonomi global ini berlangsung ketika dunia juga menghadapi krisis ekologis, krisis energi, krisis pangan, dan ancaman perubahan iklim yang tak terbendung. Dalam situasi seperti ini, dapat dibayangkan hanya mereka yang kaya dan kuat lah yang memiliki mobilitas lebih tinggi untuk menyelamatkan diri dan akan lebih mampu mengakses sumber-sumber daya yang tersisa. Sementara kelompok petani, buruh, nelayan, serta kelompok rentan lainnya, selalu menjadi kelompok yang paling mungkin dikorbankan oleh sistem ekonomi saat ini untuk terus melanggengkan siklus produksi pasar.
Jatuhnya harga komoditi perkebunan hingga level yang terendah telah mendorong terjadinya gangguan kejiwaan para petani akibat tidak terjualnya hasil panen, sebagaimana yang terjadi di Jambi, dimana ratusan petani sawit mengalami gangguan kejiwaan dan dua orang petani memutuskan untuk bunuh diri. Petani juga menghadapi kelangkaan alat-alat penopang produksinya, serta semakin berkurangnya kemampuan produktivitas lahan pertanian mereka, bahkan lebih sering terjadi kegagalan panen akibat bencana ekologis.
Buruh-buruh industri tekstil, manufaktur, perkebunan besar, pulp dan kertas, perkayu-an, serta pertambangan telah mulai di-PHK ataupun dirumahkan. Dikeluarkannya peraturan bersama empat menteri di sektor ketenagakerjaan juga mengakibatkan buruh hanya dapat memilih dua pilihan: bekerja dengan upah minimum atau “mati”. Kondisi-kondisi tersebut semakin menunjukkan bahwa krisis finansial ini telah berdampak besar bagi negara-negara yang dasar ekonominya menopang pada sistem ekonomi global yang rentan dilanda krisis.
Dampak krisis finansial global baru terasa di Indonesia pada bulan September 2008, walaupun salah satu pemicu krisis kali ini telah menyeruak pada bulan Agustus 2007. Gejala yang telah tampak sejak awal tahun 2008, belum juga direspon dengan cerdas oleh pemerintah Indonesia yang justru semakin mendorong terjadinya ketidaksiapan Indonesia dalam menghadapi krisis finansial yang terjadi. Sejumlah faktor regional menjadi salah satu pendorong meningkatnya dampak krisis terhadap kehidupan rakyat.
Gerakan politik hijau baik di tingkat global maupun nasional sudah mengingatkan bahwa krisis ini sesungguhnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rentetan panjang krisis yang lain. Di Indonesia, selain krisis ekonomi juga terjadi krisis energi, air, pangan, dan dampak dari akumulasi perubahan iklim. Dimensi krisis global yang terjadi adalah juga krisis kelangsungan hidup dimana kerusakan-kerusakan ekologi, dan rusaknya jaminan tepenuhinya kebutuhan pokok telah mencapai tingkat yang tidak terpulihkan. Dalam krisis energi misalnya, kita menilai bahwa krisis ini bukan hanya disebabkan oleh faktor harga dan penguasaan yang mempengaruhi harga dunia, tetapi juga ditentukan oleh bagaimana produksi, penggunaan dan emisinya berpengaruh terhadap meningkatnya suhu bumi yang kemudian menyebabkan menurunnya produktivitas pangan dan terjadinya perubahan iklim.
Namun, semua krisis ekonomi yang secara nyata dialami oleh rakyat di berbagai ruang hidupnya, belum mampu digerakkan untuk menjadi salah satu pendorong terjadinya krisis sosial dan politik. Karenanya, di bawah ini ada sebuah rumusan kecil yang diharapkan dapat mewujudkan sebuah cita-cita membangun dunia baru yang berpijak pada sebuah fundamen yang kuat, antara lain:
· Mengembangkan kuasa rakyat atas sumber daya alam untuk kedaulatannya. Demokrasi kerakyatan juga harus didorong secara terus menerus untuk meningkatkan kapasitas orang perorang dengan menghargai pengetahuan dan pengalaman individu, dan memprioritaskan kelompok yang tersubordinasi baik secara kultural maupun struktural seperti yang dialami oleh perempuan yang tersubordinasi secara politik dan kultur.
· Bagaimana sumber daya alam dapat terdistribusi secara adil dan merata bagi rakyat dan tidak terakumulasi pada segelintir kelompok. Kunci untuk mewujudkan keadilan sosial adalah pemerataan alokasi dan distribusi sumber daya sosial, lingkungan hidup (alam) yang berlangsung dari tingkat lokal, nasional hingga tingkat global. Hal ini untuk menjamin pemihakan yang kuat terhadap kelompok terlemah di dalam masyarakat, jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, adanya jaminan bagi semua warga negara memiliki kebebasan dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupan pribadi dan sosial, sekaligus tanggung jawab sosial dan ekologinya. Tercakup di dalam perwujudan keadilan sosial adalah penghargaan terhadap pluralisme budaya, keadilan gender, masyarakat adat dan keadilan antar generasi.
· Penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber kehidupan rakyat haruslah berlandaskan semangat berdikari dan kekuatan daya kreasi rakyat secara kolektif di tingkat lokal. Hak menguasai negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang atas bumi, air, dan kekayaan alam untuk sepenuh-penuhnya kemakmuran rakyat, memiliki legitimasi apabila memang didedikasikan kepada kepentingan hak asasi warganya. Kepentingan rakyat atau hak asasi rakyat, terutama dalam hal akses terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dijadikan sarana utama dan tujuan akhir dari hak menguasai negara. Dengan demikian, maka peran modal bersifat sekunder dan komplementer, bukan substitusi pengelolaan oleh rakyat.
· Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Salah satu komponen terpenting dari lingkungan hidup dan menjadi prasyarat kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia adalah alam. Alam menjamin pemenuhan kebutuhan sekaligus menjadi ruang hidup manusia. Namun, alam memiliki keterba-tasan untuk menunjang kehidupan manusia. Untuk itu kita perlu menghargai inte-gritas ekosistem dan menjamin keanekaragamannya sebagai prasyarat untuk mendu-kung kelangsungan kehidupan manusia. Dengan itu sekaligus terdapat jaminan bagi generasi saat ini untuk melangsungkan perikehidupannya dengan baik, dan jaminan generasi mendatang untuk menikmati kualitas alam yang sama baiknya. Sehingga pilihan pengelolaan sumber daya alam tidak bertumpu pada sentralisasi teknologi, melainkan terdesentralisasi melalui teknologi yang dapat dikuasai oleh rakyat di tingkat lokal.
Selain beberapa saran di atas, seharusnya pihak-pihak yang terkait bisa memberikan dorongan agar gerakan sosial bersama-sama berjuang untuk mengembalikan peran dan fungsi negara sebagai pelindung rakyat dan memenuhi hak-hak asasi rakyat, termasuk didalamnya hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam konteks global, sebenarnya kita dapat mengatakan bahwa dari berbagai kejahatan terhadap lingkungan dan kemanusiaan dan fakta kegagalan di dalam memberikan resep perbaikan ekonomi dunia oleh aktor-aktor yang berada di belakang sistem kapitalisme, antara lain, lembaga keuangan internasional seperti World Bank, ADB, IMF dan lembaga perdagangan dunia seperti WTO, semakin menunjukkan bahwa mereka tidak relevan dilibat-kan sebagai bagian dari masyarakat dunia untuk menangani krisis. Karenanya, pemerintah hendaknya menyerukan agar PBB yang mendorong keadilan sosial dan kesejahteraan bersa-ma, dapat ditegakkan kembali, dengan pra-syarat utama bahwa PBB juga harus mereformasi kelembagaannya yang selama ini telah dikooptasi oleh negara-negara kaya, lembaga keuangan internasional dan Trans-National Corporations (TNC)/Multi-National Corportation (MNC). Pemenuhan pembayaran atas utang ekologis yang dilakukan oleh lembaga keuangan internasional dan TNC/MNC menjadi bagian penting dari penghormatan dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia.
Tidak hanya itu, dorongan agar terbangunnya kekuatan kolektif rakyat untuk bersatu dan bergerak untuk mewujudkan dunia baru dengan kemandirian ekonomi, keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis bagi seluruh rakyat juga sangat penting. Semangat perjuangan dan perlawanan rakyat Indonesia harus terus dikobarkan dalam meraih cita-cita kemerdekaan Indonesia. Bukankah dengan kebersatuan semua pihak dengan mengesampingkan ego masing-masing dapat sedikit mengobati luka yang timbul akibat krisis global ini.